Teknik Bercerita yang Baik
Keterampilan mendongeng
merupakan bentuk keterampilan berbicara. Oleh karena itu, seorang pendongeng
dituntut memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga dapat memilih kata
yang tepat sesuai khalayak pendengarnya. Diksi (pilihan kata) untuk konsumsi
anak balita tentu berbeda dengan diksi untuk anak-anak usia SD dan SMP.
Seseorang yang suka menceritakan cerita kepada orang lain disebut pendongeng (story
teller). Pernahkah kamu mendengar istilah tersebut? Untuk dapat menjadi
seorang pencerita yang baik, hendaknya memerhatikan beberapa teknik dalam
bercerita.
Apa saja teknik-teknik
tersebut? Berikut akan dibahas satu per satu.
a. Menggunakan
kata-kata yang komunikatif (tidak kaku). Jika mungkin, menggunakan kata-kata
baku yang sedang trend agar tercipta hubungan yang dekat dengan
pendengar.
b. Mengucapkan
huruf, kata, dan kalimat dengan lafal yang tepat agar pendengar lebih mudah
memahami isi cerita.
c. Memerhatikan
intonasi kalimat. Intonasi adalah naik turunnya lagu kalimat yang berfungsi
membentuk makna kalimat. Dengan intonasi yang tepat, pendengar dapat membedakan
pengucapan kalimat untuk nada sedih, marah, gembira, dan sebagainya.
d. Mengucapkan
kalimat dengan jeda yang tepat. Jeda adalah perhentian lagu kalimat. Jeda
berfungsi untuk menandai batas-batas satuan kalimat.
e. Memerhatikan
nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya pengucapan suatu kata. Dalam hal ini,
intonasi berfungsi untuk memberi tekanan khusus pada kata-kata tertentu.
Tinggi-rendahnya nada dapat membedakan bagian kalimat yang satu dengan bagian
kalimat lain yang tidak penting.
f. Penerapan
gesture dan mimik yang tepat. Gesture adalah peniruan dengan gerak-gerik
anggota badan, sedangkan mimik dalam peniruan gerakan raut muka. Penguasaan gesture
dan mimik dapat dilakukan dengan meniru gerakan orang tertawa, menangis,
melompat, menyumpit, berteriak, dan sebagainya.
Setelah memahami teknik-teknik
bercerita, kamu dapat menggunakan cerita rakyat dari Kalimantan yang berjudul Anggrek
Hitam untuk Domia pada halaman depan untuk latihan bercerita. Sebelumnya,
perhatikan tandatanda intonasi dan jeda pada pengucapan sebuah kalimat berikut.
a. Tanda / untuk intonasi
tinggi.
b. Tanda \ untuk intonasi
rendah.
c. Tanda | untuk jeda sebagai
tanda henti sementara.
d. Tanda // untuk jeda akhir
Latihan
Anggrek Hitam untuk Domia
(Diceritakan oleh R. Masri
Sareb Putra)
Gong dari rumah panjang
menggelegar bertalu-talu. Penduduk kampong Tebelianmangkang sudah tahu. Jika
gong ditabuh, berarti ada keadaan genting. Mereka pun bergegas mendatangi rumah
itu. Rupanya, seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun,
bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua
kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan, ia berdoa dan bernazar.
“Jubata, tolonglah agar anakku
lahir dengan selamat. Lelaki atau
perempuan, anak ini akan
kupersembahkan menjadi pelayanmu!”
Jubata adalah dewa tertinggi
suku Dayak. Jubata adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Darahitam yakin,
Jubata akan menolongnya. Dan ....
“Hoa, hoa, hoa...,” suara
tangis bayi memecah keheningan.
Seluruh penduduk desa menyambut
gembira. “Ia lahir dengan selamat!
Bayi yang cantik! Kulitnya
bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik,” seru para
wanita. Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa
Dayak, domia berarti dewi.
Seperti ramalan banyak orang,
Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria yang melamarnya. Namun, Domia
menolak sebab ia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi
pelayan Tuhan atau imam wanita. Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun
bisa membatalkan nazarnya, kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya. Meskipun
demikian, Domia jatuh cinta kepada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda itu pun
mencintai Domia. Namun, Ikot Rinding heran karena Domia tak mau menikah
dengannya.
Suatu hari yang panas, pergilah
Ikot Rinding memancing. Karena tak ada seekor ikan pun yang didapatnya, ia pun
pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti. Ia melihat Domia
sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.
“Domia, mengapa kau tak mau
menjadi istriku?” tanya Ikot Rinding.
Mendengar pertanyaan itu, Domia
terkejut. Gadis cantik itu akhirnya
berterus terang. Ia bercerita
tentang nazar ibunya pada Jubata ketika melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot
Rinding mendengar cerita itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan
oleh Jubata sendiri, tetapi ... ke mana ia harus mencari Jubata?
Demi cintanya pada Domia, Ikot
Rinding pun mengembara. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di Bukit
Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang.
Begitu bangun, hari sudah pagi, berarti ini hari ketujuh pengembaraannya
mencari Jubata.
Ketika akan melangkah pergi,
Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit tergeletak di tanah.
Ikot Rinding segera memungutnya
dan meneruskan pengembaraannya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia tiba-tiba
teringat pada nasihat ibunya, “Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain
tanpa izin. Seketika Ikot Rinding berbalik dan meletakkan sumpit itu ke tempat
semula.
Ikot pun meneruskan perjalanannya mencari
Jubata. Badannya lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Akan tetapi, begitu ingat
Domia, ia bersemangat kembali. Tiba-tiba terdengar suara desisan. Sekelebat
melintas seekor ular tedung. Ia terhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil
panjang bercabang. Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan. Ikot Rinding
sadar, ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting. Diputar-putar
ranting itu, dengan cepat tangan kirinya menyambar si ular tedung. Ular itu
rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparkannya ular tedung itu ke tepi
jurang.
Usai peristiwa itu, terdengar langkah kaki.
Rupanya ada orang yang menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung.
Semula Ikot Rinding curiga. Namun, wajahpemuda itu tampak ramah.
“Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di
sini,” ujarnya. Salampandai bercerita sudah dua hari ini ia berburu. Namun, tak
berhasil menangkap apa pun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita
bahwa ayahnya menyuruhnya berlatih menyumpit.
Sekarang Ikot Rinding tahu
siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke tempat
sumpit itu. Benda itu masih ada di sana. Karena gembira, Salampandai mengundang
Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia ingin mengenalkan sahabat barunya kepada
keluarganya. Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkatnya,
walau ia sudah mempunyai enam orang kakak.
Sejak saat itu, Ikot Rinding
diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu
sangat menyayanginya seperti
anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot Rinding pun selalu bersama ke mana
pun mereka pergi. Suatu hari raja berpesan kepada Ikot Rinding dan keenam
putranya saat mereka akan pergi berburu,
“Jaga si bungsu baik-baik!”
Ikot Rinding pun mengangguk, tetapi
keenam saudara kandung
Salampandai tak menjawab.
Mereka tak menyukai Ikot
Rinding. Mereka merasa ratu dan raja hanya memerhatikan si Bungsu dan Ikot
Rinding. Mereka lalu membuat rencana mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding
atau si Bungsu. Mereka mengajak si Bungsu dan Ikot Rindang ke hutan Setibanya
di hutan, mereka harus berpencar.
Salampandai mendapat tempat
yang jauh agak mendaki dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak
Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun, ketika keenam orang itu
sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia tahu keenam
orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang berbahaya.
“Berhenti! Jangan lewat gua
itu!” teriak Ikot Rinding pada si Bungsu.
Ikot Rinding tahu, di gua itu
hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewanhewan itu sangat tajam.
“Salampandai, tiarap!” teriak Ikot Rinding
saat melihat gumpalan hitam keluar dari mulut gua. Akan tetapi, terlambat. Si
Bungsu kini dalam kepungan kelelawar. Dengan tangkas, Ikot Rinding mecabut
mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu per satu binatang gua itu
dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang bertubuh besar. Kali ini Ikot
Rinding menggunakan sumpitnya. “Fuuhhhh!” Hanya sekali tiupan, robohlah si raja
kelelawar. Si Bungsu pun selamat.
Keduanya lalu pulang.
Salampandai menceritakan peristiwa pada ayahnya. Raja sangat takjub
mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. ia sangat bahagia karena putra
kesayangannya selamat.
“Mintalah apa saja yang kau
inginkan,” ujarnya kepada Ikot Rinding.
“Hari ini juga akan segera
kupenuhi.” Pada saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata
adalah Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikannya. Meski agak ragu, Ikot
Rinding pun berkata,
“Aku memohon bukan untuk
diriku, tetapi untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia dari
nazar ibunya, Darahitam.”
Jubata ingat. Tujuh belas tahun
yang lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa,
Darahitam bernazar dan kini Ikot Rinding meminta agar nazar itu dilepaskannya.
Jubata yang bijaksana mengerti. Berbuat baik jauh lebih penting daripada
memegang keteguhan sebuah sumpah.
“Permohonanmu kukabulkan,”
ujarnya.
“Apakah tandanya?” tanya Ikot
Rinding. Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu
keluar, tangannya memegang
setangkai anggrek hitam, yang hanya tumbuh di halaman istana Jubata.
“Inilah tandanya,” sabda Jubata.
Anggrek itu lalu diserahkannya kepada Ikot Rinding.
“Begitu Domia menerima sendiri
dari uluran tanganmu, bunga ini segera berubah warna. Itulah pertanda bahwa
nazar ibunya telah kulepaskan.”
Usai menerima anggrek hitam
itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana. Ia telah sangat rindu pada
Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia
di kampung Tebelianmangkang. Anggrek hitam diserahkannya kepada Domia. Tanpa
banyak bicara, Domia menurut ketika diminta memejamkan matanya. Ketika membuka
kelopak matanya, dia melihat anggrek hitam telah berubah warna jadi putih
bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia terlepas dari nazar ibunya.
Akhirnya, Ikot Rinding dan Domia hidup bahagia sampai mereka tua.
Latihan
Kegiatan yang dapat kamu
lakukan adalah sebagai berikut.
a. Membuat
catatan ringkasan cerita yang telah kamu baca tersebut, yang meliputi judul,
nama tokoh, watak tokoh, tema, alur, latar, unsur-unsur lainnya.
b. Memberi tanda jeda dan intonasi pada ringkasan cerita yang kamu
buat.
c. Perhatikan lafal, intonasi, jeda, gesture, dan mimik pada
saat bercerita
agar pendengar mudah menangkap isi cerita yang kamu
sampaikan.
d. Lakukan bercerita di depan kelas secara bergantian dengan
temanmu.
Membaca Cepat dan Menyimpulkan
Isi Bacaan
Kecepatan membaca terkait erat
dengan pemahaman terhadap bacaan. Seseorang yang dapat menyelesaikan bacaan
dalam waktu yang cepat, tetapi sedikit sekali yang dapat dipahami dari bacaan
itu, maka ia tidak dapat
dikategorikan sebagai pembaca cepat. Demikian juga seseorang yang dapat
memahami bacaan dengan baik, tetapi kecepatan membacanya sangat lambat, juga
tidak dapat dikategorikan sebagai pembaca cepat.
Nah, apakah kamu termasuk
pembaca cepat? Untuk mengetahui jawabannya, cobalah kamu ikuti serangkaian
kegiatan berikut: (1) mengidentifikasi manfaat membaca cepat, (2) membaca
sambil
menghitung waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan bacaan, (3) menjawab pertanyaan terkait dengan
isi bacaan, (4) mengukur kecepatan membaca, (5) membuat simpulan isi bacaan,
dan (6)
berlatih meningkatkan kemampuan
membaca, (7) mencatat perkembangan kemampuan membaca, dan (8) mengidentifikasi
kata dasar dan imbuhan.
Latihan
ORANG-ORANG BUTA DAN SEEKOR
GAJAH
Suatu ketika, Budha
menceritakan sebuah ceritera tentang orang-orang buta dan seekor gajah. Budha
tak mengerti mengapa banyak ajaran waktu itu, contohnya ajaran keagamaan,
saling mempersoalkan kebenaran dan masing-masing menyatakan hanya ajarannya
sendiri yang paling benar, sementara ajaran agama lain salah. Setelah Budha
wafat, ceritera ini tersebar tidak hanya di India saja, tetapi juga di negara
dan budaya lain, ceritera ini dikenal dan diceritakan.
Sampai saat ini, cerita ini
masih menjadi bacaan wajib dalam buku-buku pelajaran di sekolah
Suatu ketika, seorang raja di
India utara memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mengumpulkan orang-orang
yang buta sejak lahir ke istana kota raja. Sang raja juga memerintahkan
pegawainya untuk membawa seekor gajah ke istana. Orang-orang buta ini sepanjang
hidupnya belum pernah sama sekali mengerti apa itu gajah. Mereka tidak tahu
seperti apakah gajah itu. Sekarang, sang raja memerintahkan mereka untuk
menyentuhnya. Mereka hanya diperbolehkan menyentuh bagian-bagian tertentu saja,
bukan gajah secara keseluruhan.
Setelah beberapa waktu
menunggu, mereka dipersilahkan mengatakan, bagaimana dan apa itu gajah.
Seorang buta yang telah meraba
bagian kakinya membandingkan gajah dengan gelondong kayu. Seorang buta yang
telah meraba perutnya membandingkannya dengan sebuah balon. Seorang buta yang
telah meraba taringnya membandingkannya dengan sebatang kayu
yang bulat dan halus. Seorang
buta yang telah meraba kepalanya membandingkannya dengan sebuah panci. Seorang
buta yang telah meraba belalainya membandingkannya dengan selang air. Akhirnya
seorang buta lain yang telah meraba bagian ekornya tidak mau ketinggalan. Ia
membandingkan seekor gajah dengan tali tambang yang sudah rusak.Masing-masing
dari mereka memiliki penjelasannya sendiri tentang seekor gajah.
Oleh karena gambaran mereka
tentang gajah berbeda, mulailah mereka bertengkar. Masing-masing sangat yakin
bahwa hanya penjelasannyalah yang paling benar dan kepunyaan yang lainnya
salah. Akhirnya mereka saling berantem dan dengan demikian sang raja terhibur.
Siapakah yang salah dan
siapakah yang benar? Adakah seorang dari mereka memiliki kebenaran? Yang pasti
sang rajalah yang salah karena telah mempermainkan orang buta. Bagi orang-orang
buta sejak lahir, sangatlah sulit mendeskripsikan gajah tanpa merabanya secara
utuh. Masing-masing dari mereka
telah menggambarkan dengan tepat apa yang mereka rasakan. Mereka telah
melakukannya dengan benar. Masing-masing mengatakan kebenaran. Tak seorang pun
berbohong karena mereka hanya diperbolehkan meraba bagian-bagian tertentu saja.
Kesalahan dari masing-masing
orang buta tersebut bukan soal kualitas dari penjelasannya, melainkan keyakinan
dan pernyataan tentang gajah secara keseluruhan dan menganggap penjelasannyalah
yang paling benar. Tak seorang pun memiliki gagasan bahwa masing-masing hanya
menjelaskan satu bagian saja.cara keseluruhan
Kesalahan dari masing-masing
orang buta tersebut bukan soal kualitas dari penjelasannya, melainkan keyakinan
dan pernyataan tentang gajah secara keseluruhan dan menganggap penjelasannyalah
yang paling benar. Tak seorang pun memiliki gagasan bahwa masing-masing hanya
menjelaskan satu bagian saja.
Bayangkan seumpama satu di
antara mereka seorang ilmuwan, maka ia akan mencari penyelesaian dengan gaya
para ilmuwan, yaitu dengan metode persentase atau statistik. Ia akan segera
mendata berapa banyak orang buta yang membandingkan dengan selang air, berapa
persen yang membandingkannya dengan gelondongan kayu, dan seterusnya.
Akhirnya ia memperoleh hasil
sebagai berikut: 40% membandingkannya dengan gelondongan kayu, 20% dengan
batang kayu yang bulat dan halus, dan masing-masing 10% dari mereka yang
membandingkannya dengan panci besar, sebuah balon, selang air dan tali tambang
yang rusak. Sangat logis bukan? Seekor gajah memiliki 4 kaki besar seperti
gelondong kayu (40%) dan 2 taring (20%), Sedangkan untuk kepala, belalai, perut
dan ekor hanya 1 (10%). Sebagaimana para ilmuwan meyakini bahwa kemayoritasan
memainkan peranan, cenderung yakin bahwa mayoritas adalah kebenaran, maka ia
menyatakan bahwa seekor gajah itu seperti gelondongan kayu karena hamper
setengah menyatakannya. Jadi di dalam kasus ini, mayoritas tidak otomatis
sebuah kebenaran.
Oleh sebab itu, hanya ada satu
pemecahan dari persoalan ini. Orang-orang buta yang hanya meraba bagian-bagian
tertentu tersebut harus bekerja sama. Mereka harus bekerja seperti merangkai
gambar dari sebuah gambar yang telah dipotong-potong. Lantas katakanlah, seekor
gajah itu terdiri dari 4 gelondongan kayu, 2 batang kayu yang bulat dan halus,
1 balon, 1 panci, 1 selang air dan satu tali tambang buntut. Dengan demikian,
mereka akan mampu memperolah gambaran tentang seekor gajah secara keseluruhan.
Mereka harus menghentikan perselisihan dan bekerja sama. Mereka harus
menyatukan gambaran masing-masing dengan gambaran yang didapat temannya. Mereka
harus mau belajar dari yang lain. Masing-masing harus menerima dan memahami
bahwa ada kebenaran dari penjelasan orang lain. Masing-masing harus
mempertimbangkan bahwa mereka bukan satu-satunya
pemaham kebenaran.
Barangsiapa mau membagi
pengetahuan dengan orang lain, ia tak akan sedikit pun kehilangan. Justru
sebaliknya, jika pengetahuan dibagi, pengetahuannya tidak akan berkurang
melainkan bertambah.
Kita manusia memang seperti
dongeng orang-orang buta ini. Kita tetap buta, kita mirip mereka ini.
1) Kita hanya mengambil sebagian (secuil) dari keseluruhan sebuah
kenyataan.
2) Kita hanya memahami sebagian (secuil) dari kekompleksan sebuah
kenyataan.
3) Kita
hanya memegang sebuah pengertian yang terbatas dari seluruh kenyataan.
4) Kita hanya ingin selalu melawan dan menentang apa yang berbeda
dari kita.
5) Kita
berjuang mati-matian mempertahankan pernyataan kita sebagai satu-satunya
kebenaran.
6) Kita hanya ingin tampak pandai dengan perselisihan, bukan
belajar.
7) Kita
harus bertindak ini (menerima, mendengarkan, dan memahami apa yang dikatakan
orang lain), jika kita ingin mengetahui lebih banyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar